Jumat, 04 November 2011

Tugas Pengantar Bisnis Bab 13



TANGGUNG JAWAB SOSIAL SUATU BISNIS

1.       Benturan Dengan kepentingan masyarakat
Proses produksi seringkali menyebabkan benturan kepentingan(masyarakat dengan perusahaan). Terjadi pada berbagai tingkat perusahaan(besar,menengah,maupun kecil). Benturan ini terjadi kerap kali karena perusahaan menimbulkan polusi (udara,air limbah,suara,bahkan mental kejiwaan )

Adapun klasifikasi aspek pendorong tanggung jawab social  dilaksanakannya etika bisnis yaitu :
*       Dorongan dari pihak luar,dari lingkungan masyarakat. Seringkali menghadapi kendala berupa adanya biaya tambahan yang kadang cukup besar bagi perusahaan yang diperhitungkan dalam laba-rugi usaha.
*       Dorongan dari dalam bisnis itu sendiri. Sisi humanisme pebisnis yang melibatkan rasa,karsa,dan karya ikut mendorong diciptakannya etika bisnis yang baik dan jujur. Penerapan prinsip manajemen terbuka,hubungan industrialis pancasila,pengendalian mutu terpadu dengan gugus kendali mutunya merupakan contoh-contoh penerapan manajemen yang berorientasi hubungan kemanusiaan.

2.       Dorongan tanggung jawab social
Klasifikasi masalah social yang mendorong pelaksanaan tanggung jawab social pada sebuah bisnis sebagai berikut :

v  Penerapan manajemen orientasi kemanusiaan
Kegiatan intern yang muncul bersifat sangat kaku,keras,zakeliyk(saklek),birokratik,dan otoriter.prosedur administrasi serta jenjang kewenangan yang berbelit-belit sering menyebabkan tekanan bagi para pebisnis maupun pihak lain yang berhubungan. Hubungan yang kurang manusiawi kerap terjadi antara perusahaan dengan pihak luar (pelanggan,masyarakat umum) 

Manfaat penerapan manajemen orientasi kemanusiaan
Penerapannya akan menimbulkan hubungan yang serasi ,selaras,dan seimbang antara pelaku bisnis dan pihak luar. Secara rinci,manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Peningkatan moral kerja karyawan yang berakibat membaiknya semangat dan produktivitas kerja.
b)      Adanya partisipasi bawahan dan timbulnya rasa ikut memiliki sehingga tercipta kondisi manajemen partisipatif
c)       Penurunan absen karyawan yang disebabkan kenyamanan kerja sebagai hasil hubungan kerja yang menyenangkan dan baik
d)      Peningkatan mutu produksi yang diakibatkan oleh terbentuknya rasa percaya diri karyawan
e)      Kepercayaan konsumen yang meningkat dan merupakan modal dasar bagi perkembangan selanjutnya dari perusahaan.

v  Ekologi dan gerakan pelestarian lingkungan
Ekologi yang menitikberatkan pada keseimbangan antara manusia dan alam lingkungannya banyak dipengaruhi oleh proses produksi. Sebagian contoh maraknya penebangan hutan sebagai dasar industry perkayuan,perburuan kulit ular yang diperuntukkan untuk industry kerajnan kulit,penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak  maupun racun  yang merusak alam sekitar.
v  Penghematan Energi
Pengurasan secara besar-besaran energy yang berasal dari SDA yang tidak dapat diperbaharui seperti batubara,minyak dan gas telah banyak terjadi . kesadaran bahwa sumber daya ter sebut tidak dapat diperbaharui telah mendorong dilaksanakannya proses efisiensi serta mencari pengganti sumber daya tersebut. Yang dapat disebut sumber daya alternative diantaranya adalah pemanfaatan tenaga surya,nuklir,angin,air serta laut.
v  Partisipasi pembangunan bangsa
Kesadaran masyarakat pebisnis terhadap suksesnya pembangunan sangat diperlukan. Karena dengan adanya kesadaran tersebut,akan membantu pemerintah menangani masalah pengangguran dengan cara ikut melibatkan tenaga kerja yang ada,sebagai bentuk tanggung jawab social pada lingkungan sekitap perusahaan beroperasi.
v  Gerakan konsumerisme
Awal perkembangan tahun 1960-an di Negara barat yang berhasil memberlakukan Undang-Undang perlindungan Konsumen meliputi beragam aspek,mulai dari perlindungan atas praktik penjualan paksa sampai pemberian izin lisensi bagi para petugas reparasi alat rumah tangga.
Tujuan dari gerakan konsumerisme ini adalah :
a)      Memperoleh perhatian dan tindakan nyata dari kalangan bisnis terhadap keluhan konsumen atas praktik bisnis nya
b)      Pelaksanaan strategi advertensi/periklanan yang realistic dan mendidik serta tidak menyesatkan masyarakat
c)       Diselenggarakan panel-panel diskusi antara wakil konsumen dengan produsen
d)      Pelayanan purna-jual yang lebih baik
e)      Berjalannya proses public relation(PR) yang lebih menitikberatkan pada kepuasan konsumen daripada promosi semata.




3.     Etika bisnis

Merupakan penerapan secara langsung tanggung jawab social suatu bisnis yang timbul dalam perusahaan itu sendiri. Etika pergaulan dalam melaksanakan bisnis disebut etika pergaulan bisnis.
        I.            Hubungan antara bisnis dengan langganan/konsumen
Merupakan pergaulan antara konsumen dengan produsen dan paling banyak ditemui. Berikut beberapa contohnya:
*       Kemasan yang berbeda-beda menyulitkan konsumen untuk membandingkan produk dengan harganya
*       Kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya sehingga diperlukan penjelasan tentang isi serta kandungan yang terdapat dalam produk tersebut
*       Promosi,terutama iklan merupakan gangguan etis yang paling utama
*       Pemberian servis dan garansi sebagai bagian dari layanan purna jual
      II.            Hubungan dengan karyawan
Bentuk hubungan ini  meliputi : penerimaan(recruitment),latihan(training),promosi,transfer,demosi maupun pemberhentian(termination). Dimana semua bentuk hubungan tersebut harus dijalankan secara objektif dan jujur.
    III.            Hubungan antar bisnis
Merupakan hubungan yang terjadi diantara perusahaan baik perusahaan kolega,pesaing,penyalur,grosir,maupun distributornya.
    IV.            Hubungan dengan investor
Pemberian informasi yang benar terhadap investor maupun calon investor merupakan bentuk dari hubungan ini yang mampu menghindari pengambilan keptusan yang keliru.
      V.            Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan
Hubungan dengan lembaga keuangan terutama Jawatan Pajak pada umumnya merupakan hubungan yang bersifat financial berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan.

Pelaksanaan tanggung jawab social merupakan penerapan dan pelaksanaan kepedulian bisnis terhadap lingkungan serta mengikuti etika bisnis.
Penerapan etika bisnis adalah maksud dari konsep “stakeholder” yang berlawanan dengan konsep “stockholder”.









4.     Bentuk-bentuk tanggung jawab social suatu bisnis
Penjabaran dari kepedulian social suatu bisnis berbentuk pelaksanaan tanggung jawab social bisnis. Sejalan dengan hal tersebut,dpat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat kepedulian social suatu bisnis maka semakin meningkat pula pelaksanaan praktek bisnis etik dalam masyarakat. Beberapa bentuk pelaksanaan tanggung jawab social yang dapat kita temui di Indonesia adalah :
*       Pelaksanaan Hubungan Industrialis Pancasila (HIP)
Kesepakatan kerja bersama(KKB) merupakan bentuk pelaksanaan yang telah banyak dijalankan pengusaha dengan dengan karyawannya dan dituangkan dalam buku dimana diatur kewajiban dan hak masing-masing pihak. Contohnya hak karyawan adalah cuti,tunjangan hari raya,dan pakaian kerja.
*       Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Penanganan limbah industry sebagai bagian dari produksi,yaitu sebagai bentuk partisipasi menjaga lingkungan.
*       Penerapan Prinsip Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Penekanan pada factor keselamatan pekerja dengan mempergunakan alat-alat yang berfungsi  menjaga keselamatan seperti topi  pengaman,masker pelindung,maupun pakaian khusus lainnya.
*       Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
System perkebunan ini melibatkan perkebunan besar milik Negara dan kecil milik masyarakat. Perkebunan besar berfungsi sebagai inti dan motor penggerak perkebunan dimana semua bahan bakunya diambil dari perkebunan kecil di sekitarnya yang berfungsi sebagai plasma.
*       Sistem Bapak Angkat-Anak Angkat
System ini melibatkan pengusaha besar yang mengangkat pengusaha kecil/menengah sebagai mitra kerja yang harus mereka bina. Terkadang hal ini menyebabkan masalah kepada pengusaha besar,oleh karena itu membutuhkan kesadaran yang tinggi didalam pelaksanaannya.

Tanggung jawab social (social responsibility) sangat mempengaruhi perilaku pribadi di lingkungan kerja atau suatu usaha bisnis untuk menyeimbangi komitmennya terhadap kelompok dan inidvidu didalam lingkungannya. Contohnya  bertanggungjawab kepada investor  untuk memaksimalkan profit,bertanggungjawab kepada karyawan,konsumen,dan pelaku bisnis lainnya.







Berikut adalah beberapa contoh kasus mengenai minimnya kesadaran akan tanggung jawab social pelaku bisnis di Indonesia:

*      Prita Mulyasari vs Omni International Hospital
Seorang ibu muda yang ditahan atas ‘curhat’ pribadinya ke media elektronik. Adalah Omni Internasional Hospital yang memperkarakannya karena subject dari curhat tersebut adalah “Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang”. Kabarnya, email pribadi yang berbuah penjara ini dikirim Prita ke sepuluh alamat, dua di antaranya merupakan  mailing list yang kemudian ditaruh pula pada  wall di  facebook . Kasus ini menjadi ramai.
Berbagai kepentingan muncul. Prita menjadi tontonan menarik dari sisi sosial, politik, dan hukum. Bagaimana tidak, kasus ini telah ‘dimanfaatkan’ para capres sebagai ajang pencitraan dan perhatian atas masalah sosial Prita, ibu muda dengan dua balita, salah satunya masih disusuinya. Tidak manusiawi, kira-kira seperti itulah keadaannya. Namun, hukum mencoba berjalan lurus walaupun substansinya banyak diperdebatkan di luar arena pengadilan. Konflik peraturan dibahas. Paling tidak, konflik antar-KUHP, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU Perlindungan Konsumen.
Derasnya dukungan untuk Prita mulyasari seiring dengan memanasnya kasus ini. Memaksa Komnas HAM untuk memanggil RS OMNI demi mengurangi dampak viral yang sudah terjadi. Hal ini perlu dilakukan komnas HAM dalam melindungi Prita dan blogger lainnya dari kemungkinan pelanggaran HAM yang bisa saja terjadi karena pasal Karet UU ITE .
Kekuatan viral marketing communication dari internet marketing effect seperti tidak diperhitungkan RS Omni International yang sekarang menjadi bumerang untuk RS Omni International dan pasti akan menyulitkan divisi PR-nya untuk Mengembalikan nama baik RS Omni International dimata Indonesia dan dunia. Dengan memenjarakan pasien yang mengkritik tentu merupakan strategi yang salah apalagi yang dirugikan adalah seorang blogger.
Dalam kasus prita vs RS OMNI ini komnas HAM tengah menyelidiki mengenai kinerja polisi dan kejaksaan yang belebihan dan cenderung memihak pada perusahaan . Bagaimanapun hal ini sangat perlu ditanggapi dengan segera, mengingat populasi netizen Indonesia cukup besar plus banyaknya early adopters Blogger. Jika tidak dapat di damaikan maka citra Indonesia akan semakin tercoreng, khususnya dalam hal demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat.
Sementara gerakan dukungan prita untuk kasus RS OMNI sepertinya akan terus berkembang sampai masalah ini tuntas, “kalo gak bisa ngelawan hukum, pake kekuatan tekanan sosial.” pada akhirnya kemungkinan terburuk adalah chaos dan rusaknya citra perusahaan di Indonesia karena konsumen tidak mendapat service yang jauh dari kelayakan.
*      Lumpur Lapindo

Akhir Mei silam, bencana yang bernama ”lumpur panas Lapindo” di Sidoarjo itu bermula. Efeknya bagaikan ”bola salju” (snowball effect): mula-mula kecil, tapi karena menggelinding terus-menerus, lama-lama semakin membesar.
Hingga kini, ”bola salju” itu sudah bergulir kurang-lebih enam bulan lamanya. Dampak negatifnya sungguh dahsyat, baik secara material maupun non-material. Tapi, baru 23 November lalu ia dinyatakan sebagai bencana nasional. Betapa lambannya pemerintah menyikapi bencana ini.
Itu pun ”menunggu” dulu setelah terjadinya ledakan pipa gas Pertamina di kawasan berbahaya sekitar lokasi semburan lumpur yang meminta korban jiwa lebih dari 10 orang. Ledakan pipa gas tersebut adalah bencana atau kecelakaan, demikian dinyatakan pemerintah yang diwakili Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Baiklah, kita terima bahwa ini memang bencana.
Tapi, mengapa bisa sampai berbulan-bulan lamanya? Kita patut mempersoalkan, dengan kategori sederhana: ini bencana yang tak diundang atau bencana yang diundang? Ada beberapa alasan mengapa pertanyaan itu patut dikemukakan. Pertama, menurut Effendi Siradjudin, Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), sebelum pipa gas Pertamina meledak, Aspermigas sebenarnya sudah memprediksikan bahwa bencana tersebut memang akan terjadi.
Dalam pembicaraan awal dengan ahli geologi, Dr Andang Bachtiar dan Staf Ahli Menko Perekonomian Ahmad Husein––terkait rencana Aspermigas menyelenggarakan temu ilmiah untuk mengkaji kasus Lapindo pada awal Desember mendatang ––ledakan pipa gas Pertamina di lokasi Lapindo termasuk salah satu masalah yang harus cepat diantisipasi.
Selain karena penanganan yang lamban, peninggian tanggul penahan lumpur panas yang terus dilakukan telah menimbulkan beban yang melebihi daya tahan pipa. Secara teoretis, jika tanggul terus ditinggikan, pipa saluran gas tersebut akan pecah karena kuatnya tekanan dari dalam dan dari luar pipa.
Kedua, data Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa lokasi sumur eksplorasi dan eksploitasi Lapindo semuanya berada di kawasan permukiman padat dan pertanian dengan kualitas kesuburan tanah kelas 1. Dari aspek geologis, lokasi tersebut merupakan zona yang mempunyai struktur bumi yang banyak patahan dan rekahan yang sangat rentan terhadap underground blow out.
Artinya, berbagai bentuk kecelakaan industri memang berpeluang besar terjadi di lokasi-lokasi lain di setiap titik sumur eksplorasi dan ekploitasi milik Lapindo yang berjumlah 49 sumur. Dari 49 sumur tersebut, yang memiliki izin AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) hanya 21 sumur (AMDAL tahun 1997). Sedangkan 17 sumur lainnya baru dalam tahap pengajuan AMDAL (draf), sisanya (11 sumur) tidak memiliki AMDAL.
Sejatinya, AMDAL sebagai instrumen pengendali dampak lingkungan dan sebagai prasyarat perizinan seharusnya dimiliki oleh setiap pemrakarsa usaha. Tapi ternyata, Lapindo dapat mengabaikannya begitu saja. Bukankah berdasarkan datadata ini pun sebenarnya bencana yang ditimbulkan Lapindo juga sudah dapat diprediksi jauh sebelumnya?
Ketiga, sekaitan itu sebenarnya Lapindo patut disangka telah melakukan beberapa pelanggaran. Antara lain UU Lingkungan Hidup No 4/1982 (terutama Pasal 16 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup) dan Peraturan Pemerintah No. 29/1986 tentang AMDAL. Dengan demikian, seharusnya sudah sejak jauh hari pemerintah memberikan sanksi kepada Lapindo, dengan mengacu pada:
1) Pasal 27 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi kewenangan bagi instansi pemberi izin usaha untuk mencabut izin usaha bila terjadi pelanggaran tertentu yang dianggap berbobot, mulai pelanggaran syarat administratif, pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan terhadap penduduk setempat, sampai pelanggaran yang menimbulkan korban;
2) UU No. 5/1984 tentang Perindustrian yang memberi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk menjatuhkan sanksi bagi kegiatan industri yang menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup Hal senada pernah dikemukakan Dr Suparto Wijoyo, ahli hukum lingkungan Universitas Airlangga, jauh sebelum ledakan pipa gas Pertamina terjadi. Menurut dia, Lapindo telah melakukan setidaknya 10 dosa hukum, antara lain UU Lingkungan Hidup, UU Jalan, UU Migas, UU Pertambangan, dan UU Kesehatan.
Dari seluruh dosa hukum itu, maka ancaman hukuman yang bisa ditudingkan ke Lapindo adalah di atas 5 tahun. Mestinya, lanjut Suparto, mereka yang mendapatkan ancaman penjara lebih dari 5 tahun layak ditahan. Dengan beberapa alasan di atas, seharusnyalah pemerintah bersikap tegas dan bertindak cepat menangani kasus ini. Mengapa harus ”menunggu” sampai terjadinya ledakan 22 November itu baru kasus ini dinyatakan sebagai bencana nasional? Seandainya pemerintah lebih sigap, setidaknya jatuhnya korban jiwa secara siasia dapat dicegah.
Karena itulah ke depan, kita berharap pemerintah mampu memperlihatkan kinerjanya secara lebih serius dan sikap yang lebih berani dalam menangani kasus ini. Maka, berkaitan dengan kabar yang beredar bahwa saham PT Energi Mega Persada (anak usaha Grup Bakrie) di Lapindo telah dijual kepada Freehold Group Limited, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah konkret:.
Pertama, mencegah pelepasan saham oleh kelompok Bakrie itu sebelum beberapa hal penting terkait dengan hal ini menjadi jelas.
Kedua, berhubung Lapindo sudah go-public, maka sebelum terjadinya pelepasan saham itu harus dilakukan audit yang bukan saja terkait bidang finansial, tapi juga tanggung jawab sosial, lingkungan hidup, dan kompetensi para pemimpin perusahaan tersebut.
Ketiga, membuat perjanjian secara hukum tentang siapa yang akan meneruskan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan hidup itu selanjutnya. Terkait hal itu, maka ada hal yang mengherankan: bahwa siapa di balik Freehold Group Limited itu tidak pernah dijelaskan secara rinci sampai sekarang.
Pihak Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) jelas harus konsern dengan urusan alih-saham itu. Sementara Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo harus konsern dengan masalah tanggung jawab Lapindo. Sebab, sebagai perusahaan besar, Lapindo seharusnya menjalankan apa yang disebut social corporate responsibility (CSR). CSR itu haruslah ditunjukkan secara konkret, baik kepada pemerintah, masyarakat sekitar, maupun lingkungan hidup.
Apalagi, menurut data Walhi, sejak tahun 2001 hingga 2004, pendapatan Pemkab Sidoarjo dari Lapindo terus menurun. Bahkan, antara tahun 2005 hingga pertengahan 2006 ini, Lapindo tidak pernah menyumbangkan pendapatan pada kas daerah. Sementara di sisi lain, sejak terjadinya semburan lumpur panas itu, pertumbuhan investasi di Sidoarjo mencapai nol persen. Penyebabnya, para investor takut tanah di sekitar lokasi semburan menjadi ambles.
Sehingga, pengusaha kalangan menengah ke atas tak ada yang mau menanam modalnya di sana. Bukankah atas semua dampak negatif itu pihak Lapindo layak dituntut untuk bertanggung jawab? Tapi, siapakah pihak Lapindo itu? Di baliknya ada keluarga Bakrie, dan salah seorang di antaranya adalah Aburizal Bakrie, yang kini menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Kalau ia sungguh-sungguh memahami hakikat jabatannya itu, juga menghayati peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin, maka semua upaya yang berorientasi kesejahteraan rakyat haruslah dilakukan. Untuk itu mungkin akan lebih baik jika ia minta dinonaktifkan dari pemerintahan agar dapat lebih berkonsentrasi dalam menunjukkan tanggung jawabnya dan lebih mendekatkan diri dengan rakyat Sidoarjo yang selama ini sudah sangat menderita.
Sumber: www.seputar-indonesia.com;www.wikipedia.org

1 komentar:

  1. Nice artikel....
    sekedar share aja, barangkali bisa sedikit menambah bacaan mengenai kasus etika bisnis..
    Klik --> Makalah Kasus Etika Bisnis Prita VS Omni Hospital

    BalasHapus